WISATA DAN LEGENDA
GUNUNG BROMO
GUNUNG BROMO
Salah satu destinasi wisata yang tak boleh terlewatkan di
Jawa Timur adalah Wisata alam Gunung Bromo.. Gunung ini memiliki keunikan
karena memiliki kaldera seluas 10 km dan ditengah tengah kaldera terdapat
gunung (Gn. Batok) dan kawah yang
terpisah.
Selain pemandangan gunung yang menakjubkan yang
disuguhkan dimana Gn Semeru menjadi latar belakang yang megah.. Sensasi
menyaksikan matahari terbit dari timur juga menjadi atraksi alam yang ditunggu
tunggu.. sayang atraksi ini tidak bisa disaksikan oleh penulis.. walau penulis
sudah berdingin ria menanti sang mentari.. hal ini disebabkan cuaca yang kurang
bersahabat.. di saat ufuk merekah.. awan tetap dengan semangat menutupi sang
mentari pagi..
Untuk berkunjung ke Gn. Bromo sebaiknya persiapan harus
dilakukan dengan baik mengingat rute yang ditempuh cukup ekstrim.. tidak semua
kendaraaan bisa melewati rute yang sangat tidak bersahabat. Tapi hal ini dapat
ditutupi karena pemerintah setempat sudah menyiapkan fasilitas tour yang cukup
memuaskan.
Rute Menuju Gunung Bromo dari Malang
Untuk jalur ke Gunung Bromo dari Malang anda punya 2
pilihan yaitu Tumpang atau Pasuruan/Probolinggo, namun untuk rute via tumpang
jalan cukup ekstrim, tidak disarankan kendaraan biasa lewat tumpang kecuali
anda memakai jasa sewa jeep hartop dari tumpang.
Karakteristik Gn Bromo
Gunung Bromo (dari bahasa Sanskerta: Brahma,
salah seorang Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang
masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur.
Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya
sebagai gunung berapi yang masih aktif.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan
laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang,
dan Kabupaten Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah
dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer
persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ±
800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah
bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.
Legenda Gn Bromo
Alkisah pada zaman dahulu Pulau Jawa belum dihuni oleh
manusia, bagaikan daun padi yang terapung dan terombang-ambing di tengah
samudera dan senantiasa mengguncang setiap pulau di muka Bumi. Pulau Jawa
selalu bergerak berpindah-pindah sebab tidak ada gunung-gunung yang menahannya.
Oleh karena itu, Bhatara Jagatpramana (nama lain Bhatara Guru) berdiri, dia
menciptakan Pulau Jawa bersama Bhatari Parameswari, sehingga terdapatlah Gunung
Dihyang (Gunung Dieng sekarang), tempat Bhatara Guru kemudian mencipta.
Setelah Bhatara Guru selesai melakukan semadi, kemudian
memerintahkan Hyang Brahma dan Wisnu untuk menciptakan manusia. Manusia
laki-laki dibuat oleh Brahma, sedangkan manusia perempuan dibuat oleh Wisnu.
Tanah dikepal-kepalnya dan dibuatlah manusia yang sangat elok rupanya seperti
rupa dewata. Sepasang manusia di Pulau Jawa itu lalu beranak pinak. Sayang
mereka masih tanpa pakaian, tidak dapat berbicara dan belum menetap dalam suatu
rumah. Maka dari itu para dewata berkumpul dan bermusyawarah menghadap kepada
Bhatara Guru. Bhatara Guru memerintahkan kepada para dewa agar turun ke Pulau
Jawa untuk mendidik manusia Jawa.
Maka para Dewa bersama-sama turun ke Pulau Jawa.
Wiswakarma mengajarkan cara membuat rumah. Iswara mengajarkan tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan
Pancasiska (ilmu hukum/tata tertib). Wisnu mengajarkan cara bertingkah laku dan
menjadi guru manusia. Mahadewa mengajarkan menjadi tukang besi dan membuat
pakaian. Bhagawan Ciptagupta mengajarkan melukis dan mewarnai perhiasan. Brahma
mengajarkan cara membuat peralatan dari besi. Lima makhluk besar dimintai
pertolongannya, yakni bumi, air, api, angin, dan angkasa. Bumi sebagai landasan
(paron), air sebagai penjepit, api sebagai pembakar, angin sebagai peniup api,
dan angkasa sebagai palu. Oleh karena itu, tempat itu dinamai Gunung Brahma
(Bromo), tempat Brahma menjadi pandai besi. Palu dan landasannya sebesar pohon
tal, penjepitnya (guntingnya) sebesar pohon pinang, sang Bayu (angin) keluar
dari goa, dan sang Agni (api) selalu ada siang dan malam. Itulah tempat Brahma
mengerjakan pekerjaan pandai besi.
Adapun Pulau Jawa pada zaman itu masih bergoyang-goyang,
selalu bergerak mengguncang-guncang, karena belum ada penindihnya. Oleh karena
itu Bhatara Guru mencari alat untuk menguatkan Pulau Jawa supaya tetap kuat.
Kemudian Bhatara Guru bertapa di Gunung Hyang (Gunung Dewa, Gunung Dieng
sekarang), berdiri menghadap ke timur, kemudian diputarlah air sampai menjadi
busa, lalu menjadi gunung. Tanah yang dipijak oleh kaki Bhatara kelak menjadi
Gunung Limohan. Kemudian Pulau Jawa sudah tidak kuat lagi, selalu bergerak
berguncang-guncang. Kemudian Bhatara Parameswara (nama lain Bhatara Guru)
memerintahkan kepada para dewata menghentikan penciptaan dunia. Maka pulanglah
mereka ke sorganya masing-masing. Adapun manusia di Pulau Jawa semakin lama
semakin bertambah banyak.
Melihat keadaan Pulau Jawa para Dewa merasa sangat
prihatin. Itu sebabnya, dengan berbondong-bondong para dewa menghadap Bhatara
Guru yang menjadi pemimpin mereka. Semua dewata, para resi, para pahlawan, para
bidadari, para gandarwa, semua berhimpun dan sujud di kaki Bhatara Mahakarana.
Setelah mereka berbuat sembah, mereka duduk bersila berderet menghadap ke
Bhatara Guru. “Sampai sekarang Pulau Jawa masih terus bergoyang kalau tidak segera
diatasi, pulau itu selamanya tidak akan ditempati. Karena itu, mohon Pukulun
(Tuan) memikirkannya,” kata Dewa Wisnu. Sesuai dengan hasil semadinya di Gunung
Dihyang Bhatara Guru telah menemukan cara mengatasi hal itu. “Satu-satunya cara
untuk membuat Pulau Jawa kokoh dan tidak bergoyang adalah dengan memberinya
pasak. Karena itu pergilah ke Jambudwipa (India). Potonglah Gunung Mandara
separuhnya dan ambillah puncak Mahameru untuk dijadikan pasak Pulau Jawa,” ujar
Bhatara Guru. “Mohon ampun, Pukulun. Gunung Mandara itu sangat tinggi,
puncaknya yang bernama Mahameru sampai menyentuh langit. Jadi, meskipun diambil
separuhnya, tetap saja sangat besar dan terlalu berat untuk diangkat serta
dipindahkan. Mana mungkin di antara kami ada yang mampu melaksanakan tugas
tersebut?” kata Bhatara Bayu. “Sebesar dan seberat apapun suatu pekerjaan, akan
menjadi lebih mudah dan terasa lebih ringan bila dikerjakan bersama-sama. Itu
sebabnya, kalian harus berangkat bersama-sama dan bergotong-royong untuk
menyelesaikan pekerjaan ini”, perintah Bhatara Guru.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi berangkatlah para
dewa ke Negeri Jambudwipa. Mereka bahu-membahu memotong Gunung Mandara menjadi
dua. Setelah puncak Mahameru berhasil didapatkan, barulah para dewa itu membagi
tugas untuk membawanya ke Pulau Jawa. Mula-mula, Bhatara Brahma yang mengubah
dirinya menjadi kura-kura raksasa. Kura-kura yang besarnya tiada terkira itu
dijadikan alas untuk meletakkan Mahameru. Kemudian Bhatara Bayu, sang dewa
kekuatan mengangkat Mahameru dengan dibantu dewa yang lain, dan meletakkannya
di punggung kura-kura. Setelah itu Bhatara Wisnu mengubah diri menjadi naga
raksasa yang panjangnya tidak terjangkau mata. Naga raksasa itu membelit
Mahameru agar tidak sampai terjatuh selama dalam perjalanan.
Di perjalanan para dewa yang kelelahan membawa Mahameru,
merasa sangat kehausan. Mereka melihat ada air yang sangat jernih keluar dari
Mahameru yang dibawanya. Para dewa yang menempuh perjalanan yang sangat jauh,
segera berebut mengambilnya. Mereka ingin menghapus dahaga dengan meminum air
tersebut. Mereka tidak sadar bahwa air itu sebenarnya adalah air racun Kalakuta
yang mematikan. Sesaat setelah meminumnya, para dewa itu menemui ajalnya.
Tidak berapa lama kemudian, Bhatara Guru datang untuk
melihat kerja para dewa. Betapa terkejutnya pemimpin para dewa itu, mengetahui
anak buahnya sudah terbujur kaku tidak bernyawa. “Ah, semua dewata mati. Apa sebabnya mereka mati?” kata Bhatara Guru
dalam hati. Setelah melihat keadaan sekeliling, Bhatara Guru mencurigai air
yang mengalir dari puncak Mahamerulah yang menjadi penyebab kematian para dewa.
Untuk membuktikannya, Bhatara Guru meneguk air racun Kalakuta itu. Ternyata
benar, begitu melewati tenggorokan, leher Bhatara Guru seketika bagai terbakar.
Bhatara Guru pun memuntahkannya. Namun sudah terlambat, meski berhasil
dimuntahkan, leher Bhatara Guru sudah terlanjur terbakar dan tak bisa
disembuhkan. Akibatnya, pada leher Bhatara Guru terdapat tanda hitam yang tidak
dapat dihilangkan. Sejak saat itu, Bhatara Guru mendapat sebutan Bhatara
Nilakanta yang artinya leher hitam.
“Ganas sekali racun Mahameru ini. Pantas bila para dewa
langsung menemui ajal begitu meminumnya,” guman Batara Guru. Akhirnya, dengan
kesaktian yang dimiliki, Bhatara Guru mengubah air racun Kalakuta menjadi air
suci pangkal kehidupan. Air itu diberi nama Tirtha Kamandalu. Tirtha Kamandalu
itu segera disiramkan ke semua jasad para dewa. Ajaib! Begitu tersentuh Tirtha
Kamandalu, para Dewa langsung hidup sebagaimana keadaan semula. Maka Bhatara
Guru berkata: “Kini bawalah kembali Sang Hyang Mandaragiri (nama lain Mahameru)
sampai ke Pulau Jawa, hai anak-anakku.”
Maka para raksasa dikerahkan untuk membantu para dewata.
Gunung Mandara diangkat, kemudian sampailah mereka ke sisi sebelah barat Pulau
Jawa. Nampaklah Mahameru bercahaya cemerlang, oleh karena itu Gunung Mahameru
dinamakan juga Kelasaparwata. Lalu ditancapkanlah di sebelah barat Pulau Jawa
sebagai paku. Namun yang terjadi adalah Pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur
Pulau Jawa terangkat ke atas. Tunggul sisanya hanya ada di sisi barat, oleh
karena itu nanti akan ada Gunung Kailasa, tunggulnya Sang Hyang Mahameru.
Akhirnya puncaknya Mahameru dipindahkan ke sebelah timur, diangkat bersama-sama
oleh para dewata. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru
berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang Pulau Jawa antara
lain, Gunung Katong (Lawu), Wilis, Kampud (Kelud), Kawi, Arjuna (Arjuno), dan
Gunung Kemukus (Welirang).
Tubuh Mahameru rusak bagian bawahnya karena runtuh maka
miring berdirinya, bergerak-geraklah puncaknya. Lalu puncak Mahameru
diberdirikan oleh para dewata. Demikianlah Mahameru tidak kuat dan bersandar di
Gunung Brahma. Kemudian puncak yang tersisa ditancapkan berupa Gunung Semeru,
dari kata Mahameru. Ketika Gunung Mahameru sudah ditaruh di bagian timur, Pulau
Jawa tetap saja miring. Sehingga para Dewa memutuskan memotong bagian gunung
dan ditempatkan di bagian barat laut. Penggalan Mahameru itu menjadi Gunung
Pawitra (artinya Gunung Suci) dan sekarang lebih dikenal sebagai Gunung
Penanggungan. Oleh karena diperteguh pada Gunung Brahma, Pulau Jawa menjadi
kuat, berhentilah dia bergerak dan bergoyang maka Gunung Mahameru disebut juga
dengan Gunung Misada. Mulai saat itu Pulau Jawa menjadi tenang kedudukannya
seperti sekarang ini. Ketika Sang Hyang Siwa datang ke Pulau Jawa dilihatnya
banyak tanaman Jawawut, sehingga akhirnya pulau yang ditempati Gunung Mahameru
itu dinamakan Pulau Jawa. Bagian utama Gunung Mahameru dijadikan bersemayamnya
Dewa Siwa dan sekarang lebih dikenal dengan nama Gunung Semeru.
Legenda Roro Anteng dan Joko Seger
Jaman dahulu tersebutlah seorang raja Majapahit dan
permaisurinya yang meninggalkan kerajaan karena dikalahkan putranya sendiri.
Mereka menyingkir ke lereng Gunung Brahma (Bromo sekarang) dan membuat sebuah
rumah sederhana. Setelah sekian lama, permaisurinya melahirkan seorang anak
perempuan. Tetapi terdapat keanehan pada bayi itu karena tidak menangis seperti
bayi pada umumnya. Oleh karena sifat bayinya terlihat tenang dan pendiam itu
maka kedua orang tuanya menamai putrinya Roro Anteng.
Tak jauh dari rumah mereka tinggal seorang brahmana dan
istrinya. Pada saat yang sama, istri sang brahmana melahirkan seorang anak
laki-laki. Ketika dilahirkan, bayi itu menangis dengan suara amat keras. Maka
dari itu putra sang brahmana itu pun kemudian dinamakan Joko Seger. Anteng
adalah bahasa Jawa artinya juga tenang, kokoh, atau tentram sedangkan Seger
artinya segar, subur, atau makmur. Beberapa tahun kemudian, kedua anak itu
tumbuh menjadi dewasa. Roro Anteng menjadi gadis yang cantik, sedangkan Joko
Seger menjadi pemuda yang tampan. Banyak pemuda yang bermaksud meminang Roro
Anteng, tetapi tak satu pun yang diterima olehnya karena ia lebih mencintai
Joko Seger.
Berita kecantikan Roro Anteng terdengar sampai kepada
raksasa yang tinggal di lereng Gunung Bromo bernama Kyai Bima. Raksasa tersebut
bermaksud meminang Roro Anteng. Karena takut akan kesaktian raksasa itu, Roro
Anteng memberikan syarat bila ingin melamarnya. Permintaannya yaitu agar
dibuatkan sebuah danau di atas Gunung Bromo tetapi harus selesai dalam waktu
semalam. Kyai Bima lalu menggunakan batok (tempurung kelapa) yang besar untuk
mengeruk tanah untuk dijadikan danau. Tak berapa lama pekerjaan Kyai Bima
hampir selesai. Roro Anteng menjadi sangat cemas. Akhirnya ia menemukan ide,
dibangunkanlah seluruh penduduk desa. Para wanitanya disuruh menumbuk padi di
lesung dan para laki-laki disuruh membakar jerami di sebelah timur agar
terkesan matahari hampir terbit.
Cahaya kemerahan segera muncul di ufuk timur, disusul
dengan suara lesung bertalu-talu. Ayam pun terbangun dan berkokok. Kyai Bima
menyangka pagi telah tiba, dengan marah ia melempar tempurung yang dipegangnya.
Tempurung itu jatuh tertelungkup dan akhirnya kemudian berubah menjadi sebuah
gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang dilalui Kyai Bima berubah
menjadi sebuah sungai yang dapat dilihat dari lautan pasir Gunung Batok.
Sedangkan danau yang belum selesai berubah menjadi kawah. Roro Anteng dan Joko
Seger sangat gembira. Tak lama kemudian mereka menikah dan membuka sebuah desa
baru. Desa itu kemudian mereka namakan dengan nama Tengger, yang merupakan
gabungan dari nama mereka berdua, Roro An(teng) dan Joko Se(ger).
Setelah bertahun-tahun menikah, mereka belum dikaruniai
anak. Kemudian Joko Seger bertapa di Watu Kuta memohon kepada Sang Hyang Widhi
agar dikaruniai keturunan. Joko Seger pun bersumpah bila dewata mengaruniainya
25 anak, salah satu dari anaknya akan dipersembahkan kepada Gunung Bromo.
Setelah Joko Seger mengucapkan sumpah itu, tiba-tiba muncul api dari kawah
Gunung Bromo. Tak berapa lama, Roro Anteng pun mengandung. Ternyata Roro Anteng
melahirkan sepasang bayi kembar laki-laki. Kemudian disusul dengan kelahiran
bayi kembar dua atau tiga sampai anak mereka menjadi 25. Anaknya yang bungsu
adalah Jaya Kusuma. Karena terlena, Joko Seger lupa akan janjinya untuk
mempersembahkan salah satu anaknya.
Pada suatu malam, Joko Seger bermimpi Dewa menegurnya
meminta agar ia menepati janjinya yang terdahulu. Joko Seger pun merasa gelisah
karena ia sangat menyayangi anak-anaknya. Akhirnya Joko Seger menyampaikan
mimpinya tersebut kepada semua anaknya. Semuanya anaknya tidak mau untuk
dipersembahkan kepada gunung Bromo, kecuali si bungsu Jaya Kusuma. Sebelumnya
ia meminta agar penduduk mempersembahkan hasil ladang mereka setiap terang
bulan tanggal 14 bulan Kasadha. Akhirnya Jaya Kusuma pun menceburkan dirinya ke
dalam kawah Gunung Bromo sebagai persembahan kepada Dewata untuk memenuhi sumpah ayahnya.
Untuk mengenang peristiwa itu, penduduk Tengger
mengirimkan hasil ladangnya setiap tanggal 14 bulan Kasadha dengan
melemparkannya ke dalam kawah tempat Jaya Kusuma menceburkan diri dulu. Hal itu
terus dilakukan hingga kini menjadi sebuah tradisi masyarakat Tengger. Tradisi
itu kemudian dinamakan Kasadha.
Sumber:
No comments:
Post a Comment