HARJUNA SASRABAHU
Melihat
pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera
melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar
yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu,
Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara
memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk
mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah
sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang
menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri.
Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya.
Prabu
Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan
istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi
keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.
Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.
“Dinda
Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai
agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi
Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda
Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih
Suwanda.” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.
Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.
Menghadapi
kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu Arjunasasrabahu. la segera
bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah meniadi brahalasewu- Raksasa
hampir sebesar gunung, berkepala seratus dan bertangan seribu, di mana
masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Melihat tubuh raksasa
yang demikian besar dengan bentuk yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil
ketakutan. Cepat ia terbang melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan
awan, sambil berterjak minta tolong.
Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana.
Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.
Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.
Betapa
terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya
Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat,
tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya
hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal.
Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah
siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang
sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati,
para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan
oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.
Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia
sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.
Prabu
Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan
negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan
adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk
kepentingan diri sendiri dan keluarganya.
Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.
Merasa
tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara
Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu
Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para
selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan,
Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan
kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono).
Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.
Terlahir
dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan
Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama,
wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala,
seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam
senjata sakti.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.
Arjuna
Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah
oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia
termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap
persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh
negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.
Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.
Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu
bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh
perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih
dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati
sebagai istrinya.
Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu
Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan
ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap
dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru.
Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu
Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.
Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan
sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara
Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna
Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus
berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan
memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.
Persyaratan
tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya
dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi
persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan
memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.
Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.
Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.
“Mohon
Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak,
terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba
suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena
hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak
akan menikah seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang
ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan
Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara
Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang
diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para
brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan
Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam
raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada
perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan
laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam
perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada
perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma
melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang
Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu
sendiri.
Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang
Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran
seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka
juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya
sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda.
Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang
gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.
Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang
masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta
perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara,
ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri
menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda
berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu
merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada
Prabu Citradarma, raja negara Magada.
Tak
ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan
yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap
berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna
kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan
panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.
Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.
Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.
Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding
ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan
trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan
kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari,
bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri,
sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi
yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan
terulang lagi selama jagad raya gumelar.
Berbagai
ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding
ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan
begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud
bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti
panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah
tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.
tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.
Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur
dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis,
saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras
kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga.
Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya.
Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan
bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran
negara Maespati.
Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya
Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir
dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah
dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal
sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan
negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan
semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo
angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa
merasa mengalahkan).
Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada
di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan
membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang
raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800
orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana
Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana
Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.
Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.
Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang
prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya
lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi
kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya
mengalir sebuah sungai.
Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.
Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi,
meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke
daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan.
Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia
dalam keadaan tidur berTiwikrama.
Sementara
itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah
kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai
tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun
Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di
luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di
tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para
putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil
bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada
kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya
diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan
tertawa geli penuh suka cita.
Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.
Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.
Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera
menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi
untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali
menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala
Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan
pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati,
yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau sedang melakukan Tiwikrama.
Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah
mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala
Marica. “Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.
“… Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang
terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung
aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta
selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu
bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja
taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan
kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati.
Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena
diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.”
“Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati
dari tangan Arjunasasrabahu!” kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan
Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang,
menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha
menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan
tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan
Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan
siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan
kamauannya.
“Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat
mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Rahwana lantang.
Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan
Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan
kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan.
Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika
banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak
mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang
Maespati.
Rahwana
bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh
dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis
senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan
prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang
Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu
Wisabajra, Prabut Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka
Sumekar, mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka
bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana.
Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri memimpin pasukan
Maespati. Dengan
tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya
mati juga di medan perang.
tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya
mati juga di medan perang.
Mengetahui
beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak satupun para senapati
perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan Patih Suwanda,
akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga. Perang tanding pun berlangsung
dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana
Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian
Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu
Bisawarna), raja negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama
putra resi Wisrawa.
Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya.
Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya.
Patih
Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana.
Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih
bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la, berkesimpulan, inilah saat
yang tepat untuk membalas dendam pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk
bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka.
Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding
pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda
telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa
hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat
senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat
ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali
berkat daya kesaktian Aji Rawarontek.
Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru.
Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru.
“Cucu
Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun
menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang
Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Berilah
kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti
yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan
tandinganmu !” kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.
“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.
‘Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam
ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia
memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang,
melainkan pada penitisanmu yang akan datang.” kata Bhatara Narada.
“Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya
akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara
murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar
perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !” kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu.
Tapi ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !” kata
Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk
membatalkan perang.
Perang
sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar
raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang “Garuda Nglayang” sebagaimana
yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu
Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporak porandakan laskar raksasa
Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan
peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana
sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih
Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah,
ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek
yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan
membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih
Suwanda.
Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu.
Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu.
Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera
sakti, ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari
pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu (batang
kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus prajurit
Maespati.
Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil
membaca mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di
udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung hawa
dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis
gumpalan-gumpalan api Rahwana.
Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian
bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan
seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam senjata tajam.
Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan lawannya. Menghadapi serangan
Rahwana yang demikian ganas dan mengerikan, Prabu
Arjunasasrabahu
segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi
ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana,
keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan
gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji
Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya
bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.
Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa.
Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa.
Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la
segera melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi
ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata ciptaan
Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu melepaskan senjata
Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh Rahwana. Dalam keadaan
berkeping-keping serpihan Rahwana jatuh ke tanah. Peristiwa pun terulang
kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah
potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling menyatu, dan Rahwana pun hidup
kembali.
Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana.
Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.
Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun
saat tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat,
menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan Bhatara
Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu.
“Cucu
Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah Ulun telah
berjanji tidak akan membunuh Rahwana,” kata Bhatara Narada. Mendapat teguran
Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu menyudahi triwikramanya, kembali kewujud
aslinya. “Hamba tidak akan membunuh Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk
menyiksa dan menghajarnya sebagai
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.
“Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun
janjikan kepada dewata!” kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu
Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa.
Sepeninggal
Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat
tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat
pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi
alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri
jalan-jalan di kota negara Maespati.
Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.
Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir
batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga
kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya.
Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui,
Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi
Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu
ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh
Patih Suwanda.
Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala
Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami
rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica
ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh
Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica
mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya
menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan
menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu
Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan
melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat
Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas
dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang
harus melakukan bela pati.
Kata-kata
Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil membutakan alam pikiran
bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan
Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati
segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi
Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh
diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap,
pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi
oleh
mayat-mayat wanita cantik.
mayat-mayat wanita cantik.
Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan
bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica
yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya.
Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan.
Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia
sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.
Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna.
Dengan percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan
kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000
orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan
dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia
Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu
Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia
berlindung di balik Kahyangan sekalipun.
Dewi
Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat
pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup
kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan
dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu
Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya
terhadap Marica.
terhadap Marica.
Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu
Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka
yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah
mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi
Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit
Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan
Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan
pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum
saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria
penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi
pada penjeImaan Wisnu berikutnya.
“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas
menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah
ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati
Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan
memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan
memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.
“Aku
juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa
yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari,
bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya,
walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa
yang bisa sang Bagawan berikan padaku?”
kata Prabu Arjunasasrabahu.
kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan
mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan
negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara
bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku
bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!”
kata Brahmana Pulasta.
Menghargai
permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu
Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana
segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu
terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu.
Sambil menyembah ia menyatakan fobat
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.
Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.
“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka,
Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku
juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum
mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri — nama kecil
Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.
Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana
Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan
Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan
jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka
kembali ke ibunegeri Maespati.
Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara
adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi
jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung
Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya
secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap
bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.
Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan
kebahagiaan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu
Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana
dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu
jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara
Maespati.
Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.
Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu
saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan
perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu
Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para
dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan
prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan
perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati.
Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat
tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati
dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit,
Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu
dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat
melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu.
Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang
brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu
Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.
Atas
anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu
hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama
malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia
berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan
kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia
bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis
pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu
sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang
dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu.
Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua
pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati
Arjunasasrabahu, bahwa
yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.
yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.
Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak
meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi
Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang
dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana
selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu,
sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana.
“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu.
“Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu
Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab Ramaparasu.
“Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana
berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan
umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata
Arjunasasrabahu.
“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari
Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.
“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya
Prabu Arjunasasrabahu.
“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”
“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan
lakukan?”
“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya
senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu tegas.
“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa
yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas,
sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu penuh
keyakinan.
Prabu
Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra
dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.
Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.
Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.
Prabu
Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat
sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada
Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan
sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu
Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”
Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan
kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas.
Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan
memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.
“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat.
Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.
Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar :
“Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus
dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi
jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”
Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu
mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa
Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria
lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: “Jahanam!
Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! ” Setelah itu
Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu.
Sepeninggal
Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan
Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika
meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir
Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang
jumlahnya hampir ernpat ribu orang
itu, nangis bersama-sama.
itu, nangis bersama-sama.
Persiapan
pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan
para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton
kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang
terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu
Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi
Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).
Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).
Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup
dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan
negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para
raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri
memisahkan diri dan berdaulat sendiri.
Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu
Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia
pewayangan. Ironis memang!
SUMBER:
https://wayang.wordpress.com/2010/07/22/kisah-arjunasasrabahu/
No comments:
Post a Comment